
Pada zaman dahulu, di Turki ada seorang pemuda yang jago memanah. Pemuda itu berguru kepada guru panah yang sangat hebat. Si pemuda itu cukup berbakat, karena walau baru belajar selama satu tahun kepada sang guru ia sudah mampu menguasai berbagai jurus panah yang terbilang sulit.
Si pemuda itu dapat memanah sebuah ranting kecil di pucuk pohon, kemudian dengan anak panah yang baru ia dapat memanah anak panah di ranting pohon itu hingga terbelah menjadi dua. Orang-orang terkesan dan kagum dengan kehebatan pemuda itu, dan si pemuda itu sangat bangga karena aksinya yang berhasil memukau masyarakat.
Sangat disayangkan, si pemuda itu justru menjadi sosok yang sombong. Ia silau dengan berbagai pujian yang diterimanya dari orang-orang yang mengaguminya. Ia sering berkata kepada mereka, bahwa ia adalah pemanah yang paling hebat di dunia. Mendengar kesombongannya itu, beberapa orang mulai kehilangan rasa kagumnya terhadap pemuda tersebut.
Kabar tentang kesombongan pemuda itu sampai juga ke telinga sang guru. Pada suatu siang yang cerah, sang guru memanggil si pemuda dan mengajaknya ke suatu tempat. Sebagai seorang murid, si pemuda mengikuti permintaan sang guru dengan penuh hormat.
Ternyata, sang guru mengajak si pemuda ke sebuah jurang yang sangat dalam. Dua tepi jurang itu dihubungkan oleh sebatang kayu kecil. Tanpa berkata-kata, sang guru berjalan dengan tenang di atas batang kayu itu, lalu pergi ke tengah jurang. Di tempat itu, ia mengambil anak panahnya lalu membidik sebuah pohon di seberang jurang. Kemudian, anak panah itu melesat dan menancap di batang pohon tersebut.
Sang guru mengambil anak panahnya lagi. Dengan ketenangan yang luar biasa, ia melepas anak panahnya hingga melesat dan tepat mengenai anak panah yang menancap di pohon hingga terbelah menjadi dua. Sang murid ternganga menyaksikan kehebatan sang guru.
Si pemuda itu kini merasa gentar, namun ia tetap berusaha mencobanya. Ia berjalan melewati batang kayu di jurang itu dengan gemetar sambil ia berusaha menjaga keseimbangan sebaik mungkin. Salah melangkah satu kali saja, ia dapat jatuh ke dasar jurang dan mati. Ia tidak menginkan hal itu terjadi.
Si pemuda berhasil sampai di tengah jurang, lalu ia mengambil anak panahnya. Kedua tangannya terlihat bergetar, ia merasa sangat ketakutan. Keringat dingin membasahi tubuh dan pakaiannya. Saat membidik, ia masih tetap tidak dapat bersikap tenang. Akibatnya, anak panah yang dilepaskannya melesat jauh dari sasaran.
Si pemuda itu mencoba lagi. Kali ini ia berusaha untuk bersikap setenang mungkin, seperti yang sebelumnya telah ditunjukkan oleh gurunya. Namun, ia gagal melakukannya. Ketakutan sudah terlalu kuat menguasai dirinya, lagi-lagi anak panah yang dilepaskannya pun melesat entah ke mana.
Si pemuda itu menyerah, ia merasa tidak akan dapat melakukan hal yang dilakukan oleh sang guru. Maka ia pun memutuskan untuk kembali ke tepi jurang, namun ia kesulitan melangkah. Kakinya terlalu gemetar sehingga ia tidak sanggup bergerak, dan akhirnya ia merayap dan meminta tolong pada gurunya.
Sang guru pun menghampiri muridnya itu dan membawanya ke tepi jurang. Setelah beristirahat sejenak, mereka pulang bersama-sama. Sang guru sama sekali tidak berkata apa-apa, karena ia yakin muridnya itu telah mendapatkan pelajaran besar atas kejadian tersebut.
Dalam perjalanan pulang, si pemuda hanya dapat tertunduk malu. Ia merasa kemampuan dan ilmu panah yang dimilikinya masih sangat dangkal. Karena itulah ia begitu menyesal karena dulu sering bersikap sombong akan kemampuannya, padahal sebenarnya tidak ada apa-apanya dibanding kehebatan sang guru.